Minggu, 19 Desember 2010

Face-Book,Q

Chicaq Nhak Thatoer

Kata Penggantar


Syaloooooommmmmm,
Dari awalnya iseng–iseng buat web(hhtp://www.genmhelo.hexat.com) akhirnya aku ketagihan buat blog ini juga, Ya walaupun hasilnya ngak sesuai dengan harapan aku sih. Tetapi aku tetap bangga kok bias buat blog sederhana ini yang walaupun media yang aku tampilkan belum bisa untuk memberi sesuatu yang lebih buat kalian-kalian yang telah menyepatkan diri masuk ke blog aku ini ;))

Alasan aku buat blog ini sangat simple yaitu Karena karja aku yang tiap hari harus berhubungan dengan dunia maya, Jadi untuk mengurangi rasa bete aku didalam melalui pekerjaan aku, Aku coba buat sesuatu yang bisa membuat aku sibuk aja, Ya salah satu dengan buat blog ini. Karena aku sudah punya friendstar,facebook,twitter,koprol bahkan makassar link, Yang mempermudah aku untuk tetap berkomunikasi dengan teman-temanku di dunia maya.

Dalam proses pembuatan blog ini sendiri aku begitu kesulitan untuk mengsinya karena selain susah aku untuk mendapatkan data-data dari blog lain aku juga ngak punya pendidikan tentang internet, Karena sampai  11 November 2010 aku masih terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di suatu perguruan swasta di Makassar.
Nanti blog ini aku akan coba untuk isi tentang semua hal yang berhubungan dengan pariwisata tanah toraja, Karena ada begitu banyak keindahan tanah toraja yang menurut aku sampai saat ini belum begitu dikenal oleh banyak kalangan masyarakat atau turis-turis luar negeri.

Walaupun nantinya dalam pengisian blog ini aku menampilkan kebanyakan tentang tanah toraja, Namun tidak menutup juga kemungkinan aku akan isi dengan hal-hal yang berada disekitar aku, yang mempunyai nilai manfaat yang besar.

Aku tetap sadar akan kemampuan aku dalam pembuatan blog ini makanya aku tetap mengharapkan saran dan kritikan dari kalian-kalian semuanya.
                                          By. goesgenmhelo@yahoo.com

Aluk Todolo Dan Kepercayaan Leluhur Toraja

Aluk Todolo adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktekkan oleh sejumlah besar masyarakat Toraja. Bahkan pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme tua, dalam perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik.

Kepercayaan Aluk todolo ini bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus (sanda saratu').

Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) disebarkan oleh Tangdilino' dan merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian dan disebarkan oleh Puang Tamborolangi', namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna (Makale, Sangalla dan Mengkendek).

Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aIuk karena ia meliputi upacara yang menyangkut manusia (aluk tau), upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan) dan dikatakan empat oleh karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru' berfungsi untuk menembus kesalahan (pengkalossoran).

Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu :
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata
sosial yang tidak mengenal strata.

Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”.

Sesuai dengan makna dan kandungan yang terdapat di dalam sistem kepercayaan Aluk Todolo, terdapat sejumlah hal yang relevan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Jika ditelusuri jejak referensi adanya konsep pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup bagi orang Toraja, ditemukan bahwa pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup bagi orang Toraja, pertama diatur dalam sistem religi yang ada dan hal itu meliputi hampir seluruh ritus yang dilaksanakan.

Pembagian Kabupaten Toraja


  " patung pongtiku"
Nama Kabupaten: Tana Toraja
Kode Wilayah: 73.18
Ibukota: Tana Toraja
Propinsi: Sulawesi Selatan

Daftar nama kecamatan yang berada di dalam wilayah kabupaten Tana Toraja:
NomorKecamatanKabupatenPropinsiKeterangan
1.Awan Rante KaruaTana TorajaSulawesi Selatan-
2.BalusuTana TorajaSulawesi Selatan-
3.BangkelekilaTana TorajaSulawesi Selatan-
4.BaruppuTana TorajaSulawesi Selatan-
5.BittuangTana TorajaSulawesi Selatan-
6.BonggakaradengTana TorajaSulawesi Selatan-
7.BuntaoTana TorajaSulawesi Selatan-
8.Buntu PepasanTana TorajaSulawesi Selatan-
9.Dende Piongan NapoTana TorajaSulawesi Selatan-
10.Gandang Batu SillananTana TorajaSulawesi Selatan-
11.Kapalla PituTana TorajaSulawesi Selatan-
12.Ke’suTana TorajaSulawesi Selatan-
13.KurraTana TorajaSulawesi Selatan-
14.MakaleTana TorajaSulawesi Selatan-
15.Makale SelatanTana TorajaSulawesi Selatan-
16.Makale UtaraTana TorajaSulawesi Selatan-
17.Malimbong BalepeTana TorajaSulawesi Selatan-
18.MappakTana TorajaSulawesi Selatan-
19.MasandaTana TorajaSulawesi Selatan-
20.MengkendekTana TorajaSulawesi Selatan-
21.NanggalaTana TorajaSulawesi Selatan-
22.RanoTana TorajaSulawesi Selatan-
23.RantebuaTana TorajaSulawesi Selatan-
24.RantepaoTana TorajaSulawesi Selatan-
25.RantetayoTana TorajaSulawesi Selatan-
26.RembonTana TorajaSulawesi Selatan-
27.RindingalloTana TorajaSulawesi Selatan-
28.Sa’danTana TorajaSulawesi Selatan-
29.SaluputiTana TorajaSulawesi Selatan-
30.SangallaTana TorajaSulawesi Selatan-
31.Sangalla SelatanTana TorajaSulawesi Selatan-
32.Sanggala UtaraTana TorajaSulawesi Selatan-
33.SanggalangiTana TorajaSulawesi Selatan-
34.SeseanTana TorajaSulawesi Selatan-
35.Sesean SuloaraTana TorajaSulawesi Selatan-
36.SimbuangTana TorajaSulawesi Selatan-
37.SopaiTana TorajaSulawesi Selatan-
38.TalunglipuTana TorajaSulawesi Selatan-
39.TikalaTana TorajaSulawesi Selatan-
40.TondonTana TorajaSulawesi Selatan-

Mayat Berjalan Toraja


 
Toraja, “Kota” Orang Mati yang Hidup
Dalam suatu wawancara yang dilakukan Televisi Fox, The History Channel
dari Amerika Serikat, dengan penulis baru-baru ini, salah satu
pertanyaan menarik yang diajukan kepada saya adalah apa yang membuat
Toraja menjadi sebuah budaya unik di dunia?

Jawaban saya singkat saja, seperti yang tertuang dalam judul di atas,
dengan ciri, �Toraja as the town of the living dead persons� di tengah
era globalisasi dan era postmodernisme. The History Channel dari TV
Fox mencari 12 episode rites of passage dari berbagai penjuru dunia
yang akan ditayangkan pada Mei mendatang. Toraja dan Minangkabau
mewakili Indonesia.

Kebanyakan orang berpendapat keunikan budaya Toraja adalah upacara
kematian. Pendapat ini kurang tepat karena upacara kematian dengan
tingkat elaborasi yang tinggi ada di mana-mana, seperti upacara
pemakaman Pak Harto atau upacara pemakaman di Bali dan Sumbawa.
Keunikan budaya Toraja sebenarnya terletak pada kepercayaan dan
praktik-praktik budaya yang memperlakukan orang mati hidup atau tidak
mati. Dan ini hanya ada dan terjadi di Toraja.

Orang Toraja memiliki satu sistem kepercayaan yang disebut Alukta.
Agama ini sering disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama
ini asli ciptaan leluhur orang Toraja. Disadari atau tidak, satu
pandangan yang masih dianut dan dipraktikkan oleh hampir seluruh
masyarakat Toraja ialah pandangan tentang kehidupan yang berputar (cycle).


Manusia berasal dari langit, turun ke Bumi—kehidupan di Bumi—dan
kembali lagi ke langit setelah melalui transformasi. Pandangan ini
tampak dalam semua aspek budaya Toraja. Misalnya, dalam lagu-lagu duka
(badong) narasi bergerak dalam tema ini: manusia lahir di langit,
turun ke Bumi dan kembali lagi ke langit (ossoran). Rumah tongkonan
dan lumbung alang didirikan mengikuti gerakan dari selatan ke utara
sampai titik zenit tertinggi atau sebaliknya, dari utara ke selatan
(puya), kembali ke langit tertinggi.

�Orang sakit�

Kalau Anda berjalan-jalan di Toraja saat ini, Anda akan melihat
bendera putih di depan jalan dekat rumah seseorang dan hal ini dapat
ditemukan dari kampung ke kampung. Bendera putih menandakan ada orang
sakit dalam rumah yang disebut to masaki ulunna, ’orang yang kepalanya
sakit’ atau to makula; ’orang yang panas’.

Namun, yang dimaksud dengan orang sakit di sini ialah orang mati yang
hidup. Keadaan ini mudah ditemukan karena sekarang ini orang sakit
yang sedang menunggu upacara ada puluhan, bahkan mungkin ratusan
jumlahnya.

Ungkapan-ungkapan ini dan bendera-bendera putih menunjuk pada orang
yang secara biologis sudah mati tapi dari su- dut budaya Toraja orang
sakit. Ungkapan-ungkapan metaforis tersebut bersifat ambigu. Ia
mengandung makna ketakutan akan kekuatan alam gaib, teta- pi pada saat
yang sama juga berisi keinginan untuk menguasainya.



 
Sebagai orang sakit ia dimasukkan ke dalam peti sementara dan
ditidurkan di kamar tidur ruang selatan rumah tongkonan yang disebut
sumbung. Dia ditidurkan dengan kepala mengarah ke matahari terbenam
dan kaki ke matahari terbit, layaknya seperti cara orang hidup tidur.

Karena dianggap masih berada di alam kehidupan, tiga kali sehari ia
mendapatkan makanan dan minuman (pagi, siang, dan malam). Yang membawa
makanan selalu berkata, �bangunlah nenek, makanan dan minumanmu sudah
ada�. Pada siang hari dan terutama pada malam hari, anggota keluarga
dan para tetangga berkumpul di dalam rumah bercerita sambil bermain
domino dan minum kopi agar tahan begadang. Kalau sudah lelah, mereka
tidur di sekitar �si sakit�.

Sambil menunggu pelaksanaan upacara, si sakit dibaringkan di atas
rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun;
bergantung pada kesediaan keluarga untuk melaksanakan upacara. Ada
yang sudah disimpan selama berbulan-bulan, ada yang bertahun-tahun,
misalnya enam tahun, bahkan ada yang pernah lebih dari dua puluh tahun.

Dalam situasi demikian, orang luar sering susah membedakan mana rumah
dan mana kuburan. Untuk orang Toraja, kuburan asli disebut banua tang
merambu (rumah tanpa asap) karena di dalamnya tidak ada dapur. Dapur
adalah simbol kehidupan.

Alasan menyimpan si sakit berlama-lama, seperti beberapa komentar dari
keluarga, adalah agar anggota-anggota keluarga dapat melakukan upacara
dengan tepat dan baik sesuai dengan strata sosialnya. Para anggota
keluarga harus punya waktu mencari uang untuk beli babi dan kerbau
yang akan dikorbankan nanti kalau upacara sudah dimulai. Alasan kedua,
agar semua anggota keluarga dapat hadir karena—seperti yang
diketahui—banyak anggota keluarga yang merantau.

�Orang tidur�

Tibalah waktu upacara. Upacara untuk orang dengan strata sosial tinggi
dilakukan sebanyak dua kali. Upacara pertama (aluk pia) berlangsung
selama lima malam, sedang yang kedua (aluk dio rante) selama dua
malam; walaupun yang kedua ini biasa juga berlangsung berhari-hari.
Antara upacara pertama dan kedua terkadang ada tenggang waktu yang
lamanya bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sebagai rite of passage, ritus utama tetap bertumpu pada konsep ka’tu
(’putus’) yang dimainkan pada berbagai simbol, yaitu mematikan dan
menghidupkan, yang berakhir dengan memutuskan. Sejumlah upacara
dilakukan. Mulai dari upacara mematikan, ditandai dengan pemindahan
mayat ke ruang tengah tongkonan dengan kepala menghadap selatan dan
kaki ke utara (allo leko’na), hingga upacara ma’parempe’ yang intinya
menguburkan mayat di bagian selatan ruang tengah (sali).

Si sakit lalu disimpan di atas rumah menunggu upacara kedua (aluk dio
rante). Bisa dalam hitungan bulan atau tahun, bergantung kesiapan
keluarga. Pada titik ini selain gelaran orang sakit, ia juga
digambarkan sebagai to mamma’ lan kulambu manikna (orang tidur dalam
kelambu kalung emasnya). Ia tetap diperlakukan sebagai orang hidup
dengan memberinya makan tiga kali sehari.



Ketika upacara kedua dilaksanakan, ritus pertama yang dilakukan adalah
ma’tundan, yaitu membangunkan dia dari tidurnya. Lalu posisinya diubah
ke posisi mati (to tungara). Sejumlah ritus dilakukan disertai dengan
korban hewan babi dan kerbau.

Berbagai upacara yang mengikutinya, hingga upacara ma’pasonglo’, yaitu
melakukan prosesi ke tempat upacara terakhir (rante), adalah
tahap-tahap rite of passage yang memutus hubungan (ka’tu) dengan rumah
tongkonan dan lumbung. Dia secara simbolis diputuskan dari rumpun
keluarga (sang rapu, sang tongkonan).

Tetapi, ia diputuskan dari kampung halamannya bukan untuk pergi
selamanya. Ia diharapkan menjadi nenek moyang yang aktif membangun
hubungan kembali dengan orang hidup dan terutama diharapkan akan
kembali melipatgandakan apa yang sudah dikorbankan untuknya (sule
ma’bolloan barra’).

Orang mati yang hidup

Dari uraian di atas tampaklah bahwa keunikan budaya Toraja terletak
pada pandangan yang berkaitan dengan human agency, keagenan manusia
(Giddens, 1990, Central Problems in Social Theory) dalam menangani
kekuatan-kekuatan alam gaib. Tetapi, uniknya, mereka tidak tunduk pada
alam gaib khususnya yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supernatural.

Ada kekaguman, ketercengangan, bahkan ketakutan di hadapannya, namun
ada upaya mengontrolnya dan bersahabat dengannya. Manusia dapat
mengontrol alam gaib (arwah). Dan, inilah yang membedakannya dengan
agama besar lainnya, dengan manusia selalu tunduk di depan Sang Ilahi.

Ini pulalah yang menjelaskan mengapa orang mati diperlakukan sebagai
yang hidup. Orang mati tidak pernah mati, tetapi selalu hidup. Bukan
hanya sebagai suatu pandangan hidup, melainkan sesuatu yang masih
dipraktikkan sekarang. Mereka sangat akrab dengan si sakit, bahkan
tidur bersamanya. Di Toraja utara, kalau pasangan hidup mati sang
istri atau sang suami tidur bersama si mati di ranjang yang sama dalam
satu kelambu. Mirip kisah Romeo dan Juliet.

Jangan kaget! Toraja memang ibarat sebuah kota yang dihuni oleh orang
mati yang hidup!

Sabtu, 18 Desember 2010