Minggu, 19 Desember 2010

Face-Book,Q

Chicaq Nhak Thatoer

Kata Penggantar


Syaloooooommmmmm,
Dari awalnya iseng–iseng buat web(hhtp://www.genmhelo.hexat.com) akhirnya aku ketagihan buat blog ini juga, Ya walaupun hasilnya ngak sesuai dengan harapan aku sih. Tetapi aku tetap bangga kok bias buat blog sederhana ini yang walaupun media yang aku tampilkan belum bisa untuk memberi sesuatu yang lebih buat kalian-kalian yang telah menyepatkan diri masuk ke blog aku ini ;))

Alasan aku buat blog ini sangat simple yaitu Karena karja aku yang tiap hari harus berhubungan dengan dunia maya, Jadi untuk mengurangi rasa bete aku didalam melalui pekerjaan aku, Aku coba buat sesuatu yang bisa membuat aku sibuk aja, Ya salah satu dengan buat blog ini. Karena aku sudah punya friendstar,facebook,twitter,koprol bahkan makassar link, Yang mempermudah aku untuk tetap berkomunikasi dengan teman-temanku di dunia maya.

Dalam proses pembuatan blog ini sendiri aku begitu kesulitan untuk mengsinya karena selain susah aku untuk mendapatkan data-data dari blog lain aku juga ngak punya pendidikan tentang internet, Karena sampai  11 November 2010 aku masih terdaftar sebagai salah satu mahasiswa di suatu perguruan swasta di Makassar.
Nanti blog ini aku akan coba untuk isi tentang semua hal yang berhubungan dengan pariwisata tanah toraja, Karena ada begitu banyak keindahan tanah toraja yang menurut aku sampai saat ini belum begitu dikenal oleh banyak kalangan masyarakat atau turis-turis luar negeri.

Walaupun nantinya dalam pengisian blog ini aku menampilkan kebanyakan tentang tanah toraja, Namun tidak menutup juga kemungkinan aku akan isi dengan hal-hal yang berada disekitar aku, yang mempunyai nilai manfaat yang besar.

Aku tetap sadar akan kemampuan aku dalam pembuatan blog ini makanya aku tetap mengharapkan saran dan kritikan dari kalian-kalian semuanya.
                                          By. goesgenmhelo@yahoo.com

Aluk Todolo Dan Kepercayaan Leluhur Toraja

Aluk Todolo adalah agama leluhur nenek moyang suku Toraja yang hingga saat ini masih dipraktekkan oleh sejumlah besar masyarakat Toraja. Bahkan pada tahun 1970, Aluk Todolo sudah dilindungi oleh negara dan resmi diterima ke dalam sekte Hindu-Bali. Aluk Todolo adalah kepercayaan animisme tua, dalam perkembangannya Aluk Todolo banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran hidup Konfusius dan agama Hindu. Oleh karena itu, Aluk Todolo merupakan suatu kepercayaan yang bersifat politeisme yang dinamistik.

Kepercayaan Aluk todolo ini bersumber dari dua ajaran utama yaitu aluk 7777 (aluk sanda pitunna) dan aluk serba seratus (sanda saratu').

Aluk Sanda Pitunna (aluk 7777) disebarkan oleh Tangdilino' dan merupakan sistem religi yang diyakini oleh orang Toraja sebagai aluk yang diturunkan dari langit bersama-sama dengan umat manusia. Oleh karena itu, Aluk Sanda Pitunna adalah aluk tertua dan menyebar secara luas di Toraja. Sementara itu, Aluk Sanda Saratu' datang kemudian dan disebarkan oleh Puang Tamborolangi', namun Aluk Sanda Saratu' hanya berkembang didaerah Tallu Lembangna (Makale, Sangalla dan Mengkendek).

Aluk Sanda Pitunna bersumber dari ajaran agama (sukaran aluk) yang meliputi upacara (aluk), larangan (pemali), kebenaran umum (sangka') dan kejadian sesuai dengan alurnya (salunna). Aluk sendiri meliputi upacara yang terdiri atas tiga pucuk dan empat tumbuni (aluk tallu lolona, a'pa' pentaunina). Disebut tiga aIuk karena ia meliputi upacara yang menyangkut manusia (aluk tau), upacara yang menyangkut tanam-tanaman (aluk tananan) dan upacara yang menyangkut binatang (aluk patuan) dan dikatakan empat oleh karena di samping ketiga hal di atas ada lagi satu upacara yang disebut upacara suru' berfungsi untuk menembus kesalahan (pengkalossoran).

Wilayah barat
Tokoh penting dalam penyebaran aluk ini di wilayah barat Tana Toraja yaitu :
Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ yang menyebarkan ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan memperkenalkan kepada masyarakat setempat suatu pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “to unnirui’ suke pa’pa, to ungkandei kandian saratu yakni pranata
sosial yang tidak mengenal strata.

Wilayah timur
Di wilayah timur Tana Toraja, Pasontik bersama Burake Tambolang menyebarkannya ke daerah Pitung Pananaian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan memperkenalkan pranata sosial yang disebut dalam bahasa Toraja : “To Unnirui’ suke dibonga, To unkandei kandean pindan”, yaitu pranata sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosial.

Wilayah tengah
Tangdilino bersama Burake Tangngana menyebarkan aluk ke wilayah tengah Tana Toraja dengan membawa pranata sosial “To unniru’i suke dibonga, To ungkandei kandean pindan”.

Sesuai dengan makna dan kandungan yang terdapat di dalam sistem kepercayaan Aluk Todolo, terdapat sejumlah hal yang relevan dengan pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup. Jika ditelusuri jejak referensi adanya konsep pelestarian dan pengelolaan lingkungan hidup bagi orang Toraja, ditemukan bahwa pengelolaan dan pelestarian lingkungan hidup bagi orang Toraja, pertama diatur dalam sistem religi yang ada dan hal itu meliputi hampir seluruh ritus yang dilaksanakan.

Pembagian Kabupaten Toraja


  " patung pongtiku"
Nama Kabupaten: Tana Toraja
Kode Wilayah: 73.18
Ibukota: Tana Toraja
Propinsi: Sulawesi Selatan

Daftar nama kecamatan yang berada di dalam wilayah kabupaten Tana Toraja:
NomorKecamatanKabupatenPropinsiKeterangan
1.Awan Rante KaruaTana TorajaSulawesi Selatan-
2.BalusuTana TorajaSulawesi Selatan-
3.BangkelekilaTana TorajaSulawesi Selatan-
4.BaruppuTana TorajaSulawesi Selatan-
5.BittuangTana TorajaSulawesi Selatan-
6.BonggakaradengTana TorajaSulawesi Selatan-
7.BuntaoTana TorajaSulawesi Selatan-
8.Buntu PepasanTana TorajaSulawesi Selatan-
9.Dende Piongan NapoTana TorajaSulawesi Selatan-
10.Gandang Batu SillananTana TorajaSulawesi Selatan-
11.Kapalla PituTana TorajaSulawesi Selatan-
12.Ke’suTana TorajaSulawesi Selatan-
13.KurraTana TorajaSulawesi Selatan-
14.MakaleTana TorajaSulawesi Selatan-
15.Makale SelatanTana TorajaSulawesi Selatan-
16.Makale UtaraTana TorajaSulawesi Selatan-
17.Malimbong BalepeTana TorajaSulawesi Selatan-
18.MappakTana TorajaSulawesi Selatan-
19.MasandaTana TorajaSulawesi Selatan-
20.MengkendekTana TorajaSulawesi Selatan-
21.NanggalaTana TorajaSulawesi Selatan-
22.RanoTana TorajaSulawesi Selatan-
23.RantebuaTana TorajaSulawesi Selatan-
24.RantepaoTana TorajaSulawesi Selatan-
25.RantetayoTana TorajaSulawesi Selatan-
26.RembonTana TorajaSulawesi Selatan-
27.RindingalloTana TorajaSulawesi Selatan-
28.Sa’danTana TorajaSulawesi Selatan-
29.SaluputiTana TorajaSulawesi Selatan-
30.SangallaTana TorajaSulawesi Selatan-
31.Sangalla SelatanTana TorajaSulawesi Selatan-
32.Sanggala UtaraTana TorajaSulawesi Selatan-
33.SanggalangiTana TorajaSulawesi Selatan-
34.SeseanTana TorajaSulawesi Selatan-
35.Sesean SuloaraTana TorajaSulawesi Selatan-
36.SimbuangTana TorajaSulawesi Selatan-
37.SopaiTana TorajaSulawesi Selatan-
38.TalunglipuTana TorajaSulawesi Selatan-
39.TikalaTana TorajaSulawesi Selatan-
40.TondonTana TorajaSulawesi Selatan-

Mayat Berjalan Toraja


 
Toraja, “Kota” Orang Mati yang Hidup
Dalam suatu wawancara yang dilakukan Televisi Fox, The History Channel
dari Amerika Serikat, dengan penulis baru-baru ini, salah satu
pertanyaan menarik yang diajukan kepada saya adalah apa yang membuat
Toraja menjadi sebuah budaya unik di dunia?

Jawaban saya singkat saja, seperti yang tertuang dalam judul di atas,
dengan ciri, �Toraja as the town of the living dead persons� di tengah
era globalisasi dan era postmodernisme. The History Channel dari TV
Fox mencari 12 episode rites of passage dari berbagai penjuru dunia
yang akan ditayangkan pada Mei mendatang. Toraja dan Minangkabau
mewakili Indonesia.

Kebanyakan orang berpendapat keunikan budaya Toraja adalah upacara
kematian. Pendapat ini kurang tepat karena upacara kematian dengan
tingkat elaborasi yang tinggi ada di mana-mana, seperti upacara
pemakaman Pak Harto atau upacara pemakaman di Bali dan Sumbawa.
Keunikan budaya Toraja sebenarnya terletak pada kepercayaan dan
praktik-praktik budaya yang memperlakukan orang mati hidup atau tidak
mati. Dan ini hanya ada dan terjadi di Toraja.

Orang Toraja memiliki satu sistem kepercayaan yang disebut Alukta.
Agama ini sering disebut Aluk Todolo untuk menggambarkan bahwa agama
ini asli ciptaan leluhur orang Toraja. Disadari atau tidak, satu
pandangan yang masih dianut dan dipraktikkan oleh hampir seluruh
masyarakat Toraja ialah pandangan tentang kehidupan yang berputar (cycle).


Manusia berasal dari langit, turun ke Bumi—kehidupan di Bumi—dan
kembali lagi ke langit setelah melalui transformasi. Pandangan ini
tampak dalam semua aspek budaya Toraja. Misalnya, dalam lagu-lagu duka
(badong) narasi bergerak dalam tema ini: manusia lahir di langit,
turun ke Bumi dan kembali lagi ke langit (ossoran). Rumah tongkonan
dan lumbung alang didirikan mengikuti gerakan dari selatan ke utara
sampai titik zenit tertinggi atau sebaliknya, dari utara ke selatan
(puya), kembali ke langit tertinggi.

�Orang sakit�

Kalau Anda berjalan-jalan di Toraja saat ini, Anda akan melihat
bendera putih di depan jalan dekat rumah seseorang dan hal ini dapat
ditemukan dari kampung ke kampung. Bendera putih menandakan ada orang
sakit dalam rumah yang disebut to masaki ulunna, ̢۪orang yang kepalanya
sakit̢۪ atau to makula; ̢۪orang yang panas̢۪.

Namun, yang dimaksud dengan orang sakit di sini ialah orang mati yang
hidup. Keadaan ini mudah ditemukan karena sekarang ini orang sakit
yang sedang menunggu upacara ada puluhan, bahkan mungkin ratusan
jumlahnya.

Ungkapan-ungkapan ini dan bendera-bendera putih menunjuk pada orang
yang secara biologis sudah mati tapi dari su- dut budaya Toraja orang
sakit. Ungkapan-ungkapan metaforis tersebut bersifat ambigu. Ia
mengandung makna ketakutan akan kekuatan alam gaib, teta- pi pada saat
yang sama juga berisi keinginan untuk menguasainya.



 
Sebagai orang sakit ia dimasukkan ke dalam peti sementara dan
ditidurkan di kamar tidur ruang selatan rumah tongkonan yang disebut
sumbung. Dia ditidurkan dengan kepala mengarah ke matahari terbenam
dan kaki ke matahari terbit, layaknya seperti cara orang hidup tidur.

Karena dianggap masih berada di alam kehidupan, tiga kali sehari ia
mendapatkan makanan dan minuman (pagi, siang, dan malam). Yang membawa
makanan selalu berkata, �bangunlah nenek, makanan dan minumanmu sudah
ada�. Pada siang hari dan terutama pada malam hari, anggota keluarga
dan para tetangga berkumpul di dalam rumah bercerita sambil bermain
domino dan minum kopi agar tahan begadang. Kalau sudah lelah, mereka
tidur di sekitar �si sakit�.

Sambil menunggu pelaksanaan upacara, si sakit dibaringkan di atas
rumah selama berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun;
bergantung pada kesediaan keluarga untuk melaksanakan upacara. Ada
yang sudah disimpan selama berbulan-bulan, ada yang bertahun-tahun,
misalnya enam tahun, bahkan ada yang pernah lebih dari dua puluh tahun.

Dalam situasi demikian, orang luar sering susah membedakan mana rumah
dan mana kuburan. Untuk orang Toraja, kuburan asli disebut banua tang
merambu (rumah tanpa asap) karena di dalamnya tidak ada dapur. Dapur
adalah simbol kehidupan.

Alasan menyimpan si sakit berlama-lama, seperti beberapa komentar dari
keluarga, adalah agar anggota-anggota keluarga dapat melakukan upacara
dengan tepat dan baik sesuai dengan strata sosialnya. Para anggota
keluarga harus punya waktu mencari uang untuk beli babi dan kerbau
yang akan dikorbankan nanti kalau upacara sudah dimulai. Alasan kedua,
agar semua anggota keluarga dapat hadir karena—seperti yang
diketahui—banyak anggota keluarga yang merantau.

�Orang tidur�

Tibalah waktu upacara. Upacara untuk orang dengan strata sosial tinggi
dilakukan sebanyak dua kali. Upacara pertama (aluk pia) berlangsung
selama lima malam, sedang yang kedua (aluk dio rante) selama dua
malam; walaupun yang kedua ini biasa juga berlangsung berhari-hari.
Antara upacara pertama dan kedua terkadang ada tenggang waktu yang
lamanya bisa berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun.

Sebagai rite of passage, ritus utama tetap bertumpu pada konsep ka̢۪tu
(̢۪putus̢۪) yang dimainkan pada berbagai simbol, yaitu mematikan dan
menghidupkan, yang berakhir dengan memutuskan. Sejumlah upacara
dilakukan. Mulai dari upacara mematikan, ditandai dengan pemindahan
mayat ke ruang tengah tongkonan dengan kepala menghadap selatan dan
kaki ke utara (allo leko̢۪na), hingga upacara ma̢۪parempe̢۪ yang intinya
menguburkan mayat di bagian selatan ruang tengah (sali).

Si sakit lalu disimpan di atas rumah menunggu upacara kedua (aluk dio
rante). Bisa dalam hitungan bulan atau tahun, bergantung kesiapan
keluarga. Pada titik ini selain gelaran orang sakit, ia juga
digambarkan sebagai to mamma̢۪ lan kulambu manikna (orang tidur dalam
kelambu kalung emasnya). Ia tetap diperlakukan sebagai orang hidup
dengan memberinya makan tiga kali sehari.



Ketika upacara kedua dilaksanakan, ritus pertama yang dilakukan adalah
ma̢۪tundan, yaitu membangunkan dia dari tidurnya. Lalu posisinya diubah
ke posisi mati (to tungara). Sejumlah ritus dilakukan disertai dengan
korban hewan babi dan kerbau.

Berbagai upacara yang mengikutinya, hingga upacara ma̢۪pasonglo̢۪, yaitu
melakukan prosesi ke tempat upacara terakhir (rante), adalah
tahap-tahap rite of passage yang memutus hubungan (ka̢۪tu) dengan rumah
tongkonan dan lumbung. Dia secara simbolis diputuskan dari rumpun
keluarga (sang rapu, sang tongkonan).

Tetapi, ia diputuskan dari kampung halamannya bukan untuk pergi
selamanya. Ia diharapkan menjadi nenek moyang yang aktif membangun
hubungan kembali dengan orang hidup dan terutama diharapkan akan
kembali melipatgandakan apa yang sudah dikorbankan untuknya (sule
ma̢۪bolloan barra̢۪).

Orang mati yang hidup

Dari uraian di atas tampaklah bahwa keunikan budaya Toraja terletak
pada pandangan yang berkaitan dengan human agency, keagenan manusia
(Giddens, 1990, Central Problems in Social Theory) dalam menangani
kekuatan-kekuatan alam gaib. Tetapi, uniknya, mereka tidak tunduk pada
alam gaib khususnya yang berkaitan dengan kekuatan-kekuatan supernatural.

Ada kekaguman, ketercengangan, bahkan ketakutan di hadapannya, namun
ada upaya mengontrolnya dan bersahabat dengannya. Manusia dapat
mengontrol alam gaib (arwah). Dan, inilah yang membedakannya dengan
agama besar lainnya, dengan manusia selalu tunduk di depan Sang Ilahi.

Ini pulalah yang menjelaskan mengapa orang mati diperlakukan sebagai
yang hidup. Orang mati tidak pernah mati, tetapi selalu hidup. Bukan
hanya sebagai suatu pandangan hidup, melainkan sesuatu yang masih
dipraktikkan sekarang. Mereka sangat akrab dengan si sakit, bahkan
tidur bersamanya. Di Toraja utara, kalau pasangan hidup mati sang
istri atau sang suami tidur bersama si mati di ranjang yang sama dalam
satu kelambu. Mirip kisah Romeo dan Juliet.

Jangan kaget! Toraja memang ibarat sebuah kota yang dihuni oleh orang
mati yang hidup!

Sabtu, 18 Desember 2010

Minggu, 14 November 2010

SUKU TORAJA

Suku Toraja

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Langsung ke: navigasi, cari
Toraja
Célèbes 6543a.jpg
Anak perempuan Toraja pada upacara pernikahan
Jumlah populasi
650.000[1]
Kawasan dengan jumlah penduduk yang signifikan
Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan
Bahasa
Toraja-Sa'dan, Kalumpang, Mamasa, Ta'e, Talondo' dan Toala'.
Agama
Protestan: 65.15%, Katolik: 16.97%, Islam: 5.99% dan Aluk To Dolo: 5.99%.[1]
Kelompok etnis terdekat
Bugis, Makassar
Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Populasinya diperkirakan sekitar 650.000 jiwa, dengan 450.000 di antaranya masih tinggal di Kabupaten Tana Toraja.[1] Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909.[3] Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari.
Sebelum abad ke-20, suku Toraja tinggal di desa-desa otonom. Mereka masih menganut animisme dan belum tersentuh oleh dunia luar. Pada awal tahun 1900-an, misionaris Belanda datang dan menyebarkan agama Kristen. Setelah semakin terbuka kepada dunia luar pada tahun 1970-an, kabupaten Tana Toraja menjadi lambang pariwisata Indonesia. Tana Toraja dimanfaatkan oleh pengembang pariwisata dan dipelajari oleh antropolog.[4] Masyarakat Toraja sejak tahun 1990-an mengalami transformasi budaya, dari masyarakat berkepercayaan tradisional dan agraris, menjadi masyarakat yang mayoritas beragama Kristen dan mengandalkan sektor pariwisata yang terus meningkat.[5]

[sunting] Identitas etnis

Suku Toraja memiliki sedikit gagasan secara jelas mengenai diri mereka sebagai sebuah kelompok etnis sebelum abad ke-20. Sebelum penjajahan Belanda dan masa pengkristenan, suku Toraja, yang tinggal di daerah dataran tinggi, dikenali berdasarkan desa mereka, dan tidak beranggapan sebagai kelompok yang sama. Meskipun ritual-ritual menciptakan hubungan di antara desa-desa, ada banyak keragaman dalam dialek, hierarki sosial, dan berbagai praktik ritual di kawasan dataran tinggi Sulawesi. "Toraja" (dari bahasa pesisir ke, yang berarti orang, dan Riaja, dataran tinggi) pertama kali digunakan sebagai sebutan penduduk dataran rendah untuk penduduk dataran tinggi.[3] Akibatnya, pada awalnya "Toraja" lebih banyak memiliki hubungan perdagangan dengan orang luar—seperti suku Bugis dan suku Makassar, yang menghuni sebagian besar dataran rendah di Sulawesi—daripada dengan sesama suku di dataran tinggi. Kehadiran misionaris Belanda di dataran tinggi Toraja memunculkan kesadaran etnis Toraja di wilayah Sa'dan Toraja, dan identitas bersama ini tumbuh dengan bangkitnya pariwisata di Tana Toraja.[4] Sejak itu, Sulawesi Selatan memiliki empat kelompok etnis utama—suku Bugis (kaum mayoritas, meliputi pembuat kapal dan pelaut), suku Makassar (pedagang dan pelaut), suku Mandar (pedagang dan nelayan), dan suku Toraja (petani di dataran tinggi).[6]

[sunting] Sejarah

Letak Toraja (hijau) diantara Makassar (kuning) dan Bugis (merah).
Teluk Tonkin, terletak antara Vietnam utara dan Cina selatan, dipercaya sebagai tempat asal suku Toraja.[7] Telah terjadi akulturasi panjang antara ras Melayu di Sulawesi dengan imigran Cina. Awalnya, imigran tersebut tinggal di wilayah pantai Sulawesi, namun akhirnya pindah ke dataran tinggi.
Sejak abad ke-17, Belanda mulai menancapkan kekuasaan perdagangan dan politik di Sulawesi melalui Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC). Selama dua abad, mereka mengacuhkan wilayah dataran tinggi Sulawesi tengah (tempat suku Toraja tinggal) karena sulit dicapai dan hanya memiliki sedikit lahan yang produktif. Pada akhir abad ke-19, Belanda mulai khawatir terhadap pesatnya penyebaran Islam di Sulawesi selatan, terutama diantara suku Makassar dan Bugis. Belanda melihat suku Toraja yang menganut animisme sebagai target yang potensial untuk dikristenkan. Pada tahun 1920-an, misi penyebaran agama Kristen mulai dijalankan dengan bantuan pemerintah kolonial Belanda.[2] Selain menyebarkan agama, Belanda juga menghapuskan perbudakan dan menerapkan pajak daerah. Sebuah garis digambarkan di sekitar wilayah Sa'dan dan disebut Tana Toraja. Tana Toraja awalnya merupakan subdivisi dari kerajaan Luwu yang mengklaim wilayah tersebut.[8] Pada tahun 1946, Belanda memberikan Tana Toraja status regentschap, dan Indonesia mengakuinya sebagai suatu kabupaten pada tahun 1957.[2]
Misionaris Belanda yang baru datang mendapat perlawanan kuat dari suku Toraja karena penghapusan jalur perdagangan yang menguntungkan Toraja.[9] Beberapa orang Toraja telah dipindahkan ke dataran rendah secara paksa oleh Belanda agar lebih mudah diatur. Pajak ditetapkan pada tingkat yang tinggi, dengan tujuan untuk menggerogoti kekayaan para elit masyarakat. Meskipun demikian, usaha-usaha Belanda tersebut tidak merusak budaya Toraja, dan hanya sedikit orang Toraja yang saat itu menjadi Kristen.[10] Pada tahun 1950, hanya 10% orang Toraja yang berubah agama menjadi Kristen.[9]
Penduduk Muslim di dataran rendah menyerang Toraja pada tahun 1930-an. Akibatnya, banyak orang Toraja yang ingin beraliansi dengan Belanda berpindah ke agama Kristen untuk mendapatkan perlindungan politik, dan agar dapat membentuk gerakan perlawanan terhadap orang-orang Bugis dan Makassar yang beragama Islam. Antara tahun 1951 dan 1965 setelah kemerdekaan Indonesia, Sulawesi Selatan mengalami kekacauan akibat pemberontakan yang dilancarkan Darul Islam, yang bertujuan untuk mendirikan sebuah negara Islam di Sulawesi. Perang gerilya yang berlangsung selama 15 tahun tersebut turut menyebabkan semakin banyak orang Toraja berpindah ke agama Kristen.[11]
Pada tahun 1965, sebuah dekret presiden mengharuskan seluruh penduduk Indonesia untuk menganut salah satu dari lima agama yang diakui: Islam, Kristen Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.[12] Kepercayaan asli Toraja (aluk) tidak diakui secara hukum, dan suku Toraja berupaya menentang dekret tersebut. Untuk membuat aluk sesuai dengan hukum, ia harus diterima sebagai bagian dari salah satu agama resmi. Pada tahun 1969, Aluk To Dolo dilegalkan sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.[2]

[sunting] Masyarakat

[sunting] Keluarga

Sebuah perkampungan suku Toraja
Keluarga adalah kelompok sosial dan politik utama dalam suku Toraja. Setiap desa adalah suatu keluarga besar. Setiap tongkonan memiliki nama yang dijadikan sebagai nama desa. Keluarga ikut memelihara persatuan desa. Pernikahan dengan sepupu jauh (sepupu keempat dan seterusnya) adalah praktek umum yang memperkuat hubungan kekerabatan.Suku Toraja melarang pernikahan dengan sepupu dekat (sampai dengan sepupu ketiga) kecuali untuk bangsawan, untuk mencegah penyebaran harta.[13] Hubungan kekerabatan berlangsung secara timbal balik, dalam artian bahwa keluarga besar saling menolong dalam pertanian, berbagi dalam ritual kerbau, dan saling membayarkan hutang.
Setiap orang menjadi anggota dari keluarga ibu dan ayahnya.[14] Anak, dengan demikian, mewarisi berbagai hal dari ibu dan ayahnya, termasuk tanah dan bahkan utang keluarga. Nama anak diberikan atas dasar kekerabatan, dan biasanya dipilih berdasarkan nama kerabat yang telah meninggal. Nama bibi, paman dan sepupu yang biasanya disebut atas nama ibu, ayah dan saudara kandung.
Sebelum adanya pemerintahan resmi oleh pemerintah kabupaten Tana Toraja, masing-masing desa melakukan pemerintahannya sendiri. Dalam situasi tertentu, ketika satu keluarga Toraja tidak bisa menangani masalah mereka sendiri, beberapa desabiasanya membentuk kelompok; kadang-kadang, bebrapa desa akan bersatu melawan desa-desa lain Hubungan antara keluarga diungkapkan melalui darah, perkawinan, dan berbagi rumah leluhur (tongkonan), secara praktis ditandai oleh pertukaran kerbau dan babi dalam ritual. Pertukaran tersebut tidak hanya membangun hubungan politik dan budaya antar keluarga tetapi juga menempatkan masing-masing orang dalam hierarki sosial: siapa yang menuangkan tuak, siapa yang membungkus mayat dan menyiapkan persembahan, tempat setiap orang boleh atau tidak boleh duduk, piring apa yang harus digunakan atau dihindari, dan bahkan potongan daging yang diperbolehkan untuk masing-masing orang.[15]

[sunting] Kelas sosial

Dalam masyarakat Toraja awal, hubungan keluarga bertalian dekat dengan kelas sosial. Ada tiga tingkatan kelas sosial: bangsawan, orang biasa, dan budak (perbudakan dihapuskan pada tahun 1909 oleh pemerintah Hindia Belanda). Kelas sosial diturunkan melalui ibu. Tidak diperbolehkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih rendah tetapi diizinkan untuk menikahi perempuan dari kelas yang lebih tingi, ini bertujuan untuk meningkatkan status pada keturunan berikutnya. Sikap merendahkan dari Bangsawan terhadap rakyat jelata masih dipertahankan hingga saat ini karena alasan martabat keluarga.[5]
Kaum bangsawan, yang dipercaya sebagai keturunan dari surga,[16] tinggal di tongkonan, sementara rakyat jelata tinggal di rumah yang lebih sederhana (pondok bambu yang disebut banua). Budak tinggal di gubuk kecil yang dibangun di dekat tongkonan milik tuan mereka. Rakyat jelata boleh menikahi siapa saja tetapi para bangsawan biasanya melakukan pernikahan dalam keluarga untuk menjaga kemurnian status mereka. Rakyat biasa dan budak dilarang mengadakan perayaan kematian. Meskipun didasarkan pada kekerabatan dan status keturunan, ada juga beberapa gerak sosial yang dapat mempengaruhi status seseorang, seperti pernikahan atau perubahan jumlah kekayaan.[13] Kekayaan dihitung berdasarkan jumlah kerbau yang dimiliki.
Budak dalam masyarakat Toraja merupakan properti milik keluarga. Kadang-kadang orang Toraja menjadi budak karena terjerat utang dan membayarnya dengan cara menjadi budak. Budak bisa dibawa saat perang, dan perdagangan budak umum dilakukan. Budak bisa membeli kebebasan mereka, tetapi anak-anak mereka tetap mewarisi status budak. Budak tidak diperbolehkan memakai perunggu atau emas, makan dari piring yang sama dengan tuan mereka, atau berhubungan seksual dengan perempuan merdeka. Hukuman bagi pelanggaran tersebut yaitu hukuman mati.

[sunting] Agama

Sistem kepercayaan tradisional suku Toraja adalah kepercayaan animisme politeistik yang disebut aluk, atau "jalan" (kadang diterjemahkan sebagai "hukum"). Dalam mitos Toraja, leluhur orang Toraja datang dari surga dengan menggunakan tangga yang kemudian digunakan oleh suku Toraja sebagai cara berhubungan dengan Puang Matua, dewa pencipta.[17] Alam semesta, menurut aluk, dibagi menjadi dunia atas (Surga) dunia manusia (bumi), dan dunia bawah.[9] Pada awalnya, surga dan bumi menikah dan menghasilkan kegelapan, pemisah, dan kemudian muncul cahaya. Hewan tinggal di dunia bawah yang dilambangkan dengan tempat berbentuk persegi panjang yang dibatasi oleh empat pilar, bumi adalah tempat bagi umat manusia, dan surga terletak di atas, ditutupi dengan atap berbetuk pelana. Dewa-dewa Toraja lainnya adalah Pong Banggai di Rante (dewa bumi), Indo' Ongon-Ongon (dewi gempa bumi), Pong Lalondong (dewa kematian), Indo' Belo Tumbang (dewi pengobatan), dan lainnya.[18]
Kekuasaan di bumi yang kata-kata dan tindakannya harus dipegang baik dalam kehidupan pertanian maupun dalam upacara pemakaman, disebut to minaa (seorang pendeta aluk). Aluk bukan hanya sistem kepercayaan, tetapi juga merupakan gabungan dari hukum, agama, dan kebiasaaan. Aluk mengatur kehidupan bermasyarakat, praktik pertanian, dan ritual keagamaan. Tata cara Aluk bisa berbeda antara satu desa dengan desa lainnya. Satu hukum yang umum adalah peraturan bahwa ritual kematian dan kehidupan harus dipisahkan. Suku Toraja percaya bahwa ritual kematian akan menghancurkan jenazah jika pelaksanaannya digabung dengan ritual kehidupan.[19] Kedua ritual tersebut sama pentingnya. Ketika ada para misionaris dari Belanda, orang Kristen Toraja tidak diperbolehkan menghadiri atau menjalankan ritual kehidupan, tetapi diizinkan melakukan ritual kematian.[10] Akibatnya, ritual kematian masih sering dilakukan hingga saat ini, tetapi ritual kehidupan sudah mulai jarang dilaksanakan.

[sunting] Kebudayaan

[sunting] Tongkonan

Tiga tongkonan di desa Toraja.
Tongkonan adalah rumah tradisional Toraja yang berdiri di atas tumpukan kayu dan dihiasi dengan ukiran berwarna merah, hitam, dan kuning. Kata "tongkonan" berasal dari bahasa Toraja tongkon ("duduk").
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja. Ritual yang berhubungan dengan tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual suku Toraja oleh karena itu semua anggota keluarga diharuskan ikut serta karena Tongkonan melambangan hubungan mereka dengan leluhur mereka.[15] Menurut cerita rakyat Toraja, tongkonan pertama dibangun di surga dengan empat tiang. Ketika leluhur suku Toraja turun ke bumi, dia meniru rumah tersebut dan menggelar upacara yang besar.[20]
Pembangunan tongkonan adalah pekerjaan yang melelahkan dan biasanya dilakukan dengan bantuan keluarga besar. Ada tiga jenis tongkonan. Tongkonan layuk adalah tempat kekuasaan tertinggi, yang digunakan sebagai pusat "pemerintahan". Tongkonan pekamberan adalah milik anggota keluarga yang memiliki wewenang tertentu dalam adat dan tradisi lokal sedangkan anggota keluarga biasa tinggal di tongkonan batu. Eksklusifitas kaum bangsawan atas tongkonan semakin berkurang seiring banyaknya rakyat biasa yang mencari pekerjaan yang menguntungkan di daerah lain di Indonesia. Setelah memperoleh cukup uang, orang biasa pun mampu membangun tongkonan yang besar.

[sunting] Ukiran kayu

Ukiran kayu Toraja: setiap panel melambangkan niat baik.
Bahasa Toraja hanya diucapkan dan tidak memiliki sistem tulisan.[21] Untuk menunjukkan kosep keagamaan dan sosial, suku Toraja membuat ukiran kayu dan menyebutnya Pa'ssura (atau "tulisan"). Oleh karena itu, ukiran kayu merupakan perwujudan budaya Toraja.
Setiap ukiran memiliki nama khusus. Motifnya biasanya adalah hewan dan tanaman yang melambangkan kebajikan, contohnya tanaman air seperti gulma air dan hewan seperti kepiting dan kecebong yang melambangkan kesuburan. Gambar kiri memperlihatkan contoh ukiran kayu Toraja, terdiri atas 15 panel persegi. Panel tengah bawah melambangkan kerbau atau kekayaan, sebagai harapan agar suatu keluarga memperoleh banyak kerbau. Panel tengah melambangkan simpul dan kotak, sebuah harapan agar semua keturunan keluarga akan bahagia dan hidup dalam kedamaian, seperti barang-barang yang tersimpan dalam sebuah kotak. Kotak bagian kiri atas dan kanan atas melambangkan hewan air, menunjukkan kebutuhan untuk bergerak cepat dan bekerja keras, seperti hewan yang bergerak di permukaan air. Hal Ini juga menunjukkan adanya kebutuhan akan keahlian tertentu untuk menghasilkan hasil yang baik.
Keteraturan dan ketertiban merupakan ciri umum dalam ukiran kayu Toraja (lihat desain tabel di bawah), selain itu ukiran kayu Toraja juga abstrak dan geometris. Alam sering digunakan sebagai dasar dari ornamen Toraja, karena alam penuh dengan abstraksi dan geometri yang teratur.[21] Ornamen Toraja dipelajari dalam ethnomatematika dengan tujuan mengungkap struktur matematikanya meskipun suku Toraja membuat ukiran ini hanya berdasarkan taksiran mereka sendiri.[21] Suku Toraja menggunakan bambu untuk membuat oranamen geometris.
Beberapa motif ukiran Toraja
pa'tedong
(kerbau)
pa'barre allo
(matahari)
pa're'po' sanguba
(menari)
ne'limbongan
(perancang legendaris)
sumber:[22]

[sunting] Upacara pemakaman

Tempat penguburan Toraja yang diukir.
Dalam masyarakat Toraja, upacara pemakaman merupakan ritual yang paling penting dan berbiaya mahal. Semakin kaya dan berkuasa seseorang, maka biaya upacara pemakamannya akan semakin mahal. Dalam agama aluk, hanya keluarga bangsawan yang berhak menggelar pesta pemakaman yang besar. Pesta pemakaman seorang bangsawan biasanya dihadiri oleh ribuan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Sebuah tempat prosesi pemakaman yang disebut rante biasanya disiapkan pada sebuah padang rumput yang luas, selain sebagai tempat pelayat yang hadir, juga sebagai tempat lumbung padi, dan berbagai perangkat pemakaman lainnya yang dibuat oleh keluarga yang ditinggalkan. Musik suling, nyanyian, lagu dan puisi, tangisan dan ratapan merupakan ekspresi duka cita yang dilakukan oleh suku Toraja tetapi semua itu tidak berlaku untuk pemakaman anak-anak, orang miskin, dan orang kelas rendah.[23]
Upacara pemakaman ini kadang-kadang baru digelar setelah berminggu-minggu, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun sejak kematian yang bersangkutan, dengan tujuan agar keluarga yang ditinggalkan dapat mengumpulkan cukup uang untuk menutupi biaya pemakaman.[24] Suku Toraja percaya bahwa kematian bukanlah sesuatu yang datang dengan tiba-tiba tetapi merupakan sebuah proses yang bertahap menuju Puya (dunia arwah, atau akhirat). Dalam masa penungguan itu, jenazah dibungkus dengan beberapa helai kain dan disimpan di bawah tongkonan. Arwah orang mati dipercaya tetap tinggal di desa sampai upacara pemakaman selesai, setelah itu arwah akan melakukan perjalanan ke Puya.[25]
Sebuah makam.
Bagian lain dari pemakaman adalah penyembelihan kerbau. Semakin berkuasa seseorang maka semakin banyak kerbau yang disembelih. Penyembelihan dilakukan dengan menggunakan golok. Bangkai kerbau, termasuk kepalanya, dijajarkan di padang, menunggu pemiliknya, yang sedang dalam "masa tertidur". Suku Toraja percaya bahwa arwah membutuhkan kerbau untuk melakukan perjalanannya dan akan lebih cepat sampai di Puya jika ada banyak kerbau. Penyembelihan puluhan kerbau dan ratusan babi merupakan puncak upacara pemakaman yang diringi musik dan tarian para pemuda yang menangkap darah yang muncrat dengan bambu panjang. Sebagian daging tersebut diberikan kepada para tamu dan dicatat karena hal itu akan dianggap sebagai utang pada keluarga almarhum.[26]
Ada tiga cara pemakaman: Peti mati dapat disimpan di dalam gua, atau di makam batu berukir, atau digantung di tebing. Orang kaya kadang-kadang dikubur di makam batu berukir. Makam tersebut biasanya mahal dan waktu pembuatannya sekitar beberapa bulan. Di beberapa daerah, gua batu digunakan untuk meyimpan jenazah seluruh anggota keluarga. Patung kayu yang disebut tau tau biasanya diletakkan di gua dan menghadap ke luar.[27] Peti mati bayi atau anak-anak digantung dengan tali di sisi tebing. Tali tersebut biasanya bertahan selama setahun sebelum membusuk dan membuat petinya terjatuh.

[sunting] Musik dan Tarian

Suku Toraja melakukan tarian dalam beberapa acara, kebanyakan dalam upacara penguburan. Mereka menari untuk menunjukkan rasa duka cita, dan untuk menghormati sekaligus menyemangati arwah almarhum karena sang arwah akan menjalani perjalanan panjang menuju akhirat. Pertama-tama, sekelompok pria membentuk lingkaran dan menyanyikan lagu sepanjang malam untuk menghormati almarhum (ritual terseebut disebut Ma'badong).[6][26] Ritual tersebut dianggap sebagai komponen terpenting dalam upacara pemakaman.[23] Pada hari kedua pemakaman, tarian prajurit Ma'randing ditampilkan untuk memuji keberanian almarhum semasa hidupnya. Beberapa orang pria melakukan tarian dengan pedang, prisai besar dari kulit kerbau, helm tanduk kerbau, dan berbagai ornamen lainnya. Tarian Ma'randing mengawali prosesi ketika jenazah dibawa dari lumbung padi menuju rante, tempat upacara pemakaman. Selama upacara, para perempuan dewasa melakukan tarian Ma'katia sambil bernyanyi dan mengenakan kostum baju berbulu. Tarian Ma'akatia bertujuan untuk mengingatkan hadirin pada kemurahan hati dan kesetiaan almarhum. Setelah penyembelihan kerbau dan babi, sekelompok anak lelaki dan perempuan bertepuk tangan sambil melakukan tarian ceria yang disebut Ma'dondan.
Tarian Manganda' ditampilkan pada ritual Ma'Bua'.
Seperti di masyarakat agraris lainnya, suku Toraja bernyanyi dan menari selama musim panen. Tarian Ma'bugi dilakukan untuk merayakan Hari Pengucapan Syukur dan tarian Ma'gandangi ditampilkan ketika suku Toraja sedang menumbuk beras[28] Ada beberapa tarian perang, misalnya tarian Manimbong yang dilakukan oleh pria dan kemudian diikuti oleh tarian Ma'dandan oleh perempuan. Agama Aluk mengatur kapan dan bagaimana suku Toraja menari. Sebuah tarian yang disebut Ma'bua hanya bisa dilakukan 12 tahun sekali. Ma'bua adalah upacara Toraja yang penting ketika pemuka agama mengenakan kepala kerbau dan menari di sekeliling pohon suci.
Alat musik tradisional Toraja adalah suling bambu yang disebut Pa'suling. Suling berlubang enam ini dimainkan pada banyak tarian, seperti pada tarian Ma'bondensan, ketika alat ini dimainkan bersama sekelompok pria yang menari dengan tidak berbaju dan berkuku jari panjang. Suku Toraja juga mempunyai alat musik lainnya, misalnya Pa'pelle yang dibuat dari daun palem dan dimainkan pada waktu panen dan ketika upacara pembukaan rumah.[29]

[sunting] Bahasa

Bahasa Toraja adalah bahasa yang dominan di Tana Toraja, dengan Sa'dan Toraja sebagai dialek bahasa yang utama. Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional adalah bahasa resmi dan digunakan oleh masyarakat,[1] akan tetapi bahasa Toraja pun diajarkan di semua sekolah dasar di Tana Toraja.
Ragam bahasa di Toraja antara lain Kalumpang, Mamasa, Tae' , Talondo' , Toala' , dan Toraja-Sa'dan, dan termasuk dalam rumpun bahasa Melayu-Polinesia dari bahasa Austronesia.[30] Pada mulanya, sifat geografis Tana Toraja yang terisolasi membentuk banyak dialek dalam bahasa Toraja itu sendiri. Setelah adanya pemerintahan resmi di Tana Toraja, beberapa dialek Toraja menjadi terpengaruh oleh bahasa lain melalui proses transmigrasi, yang diperkenalkan sejak masa penjajahan. Hal itu adalah penyebab utama dari keragaman dalam bahasa Toraja.[6]
Keragaman dalam bahasa Toraja
DenominasiISO 639-3Populasi (pada tahun)Dialek
Kalumpangkli12,000 (1991)Karataun, Mablei, Mangki (E'da), Bone Hau (Ta'da).
Mamasamqj100,000 (1991)Mamasa Utara, Mamasa tengah, Pattae' (Mamasa Selatan, Patta' Binuang, Binuang, Tae', Binuang-Paki-Batetanga-Anteapi)
Ta'erob250,000 (1992)Rongkong, Luwu Timur Laut, Luwu Selatan, Bua.
Talondo'tln500 (1986)
Toala'tlz30,000 (1983)Toala', Palili'.
Torajan-Sa'dansda500,000 (1990)Makale (Tallulembangna), Rantepao (Kesu'), Toraja Barat (Toraja Barat, Mappa-Pana).
Sumber: Gordon (2005).[30]
Ciri yang menonjol dalam bahasa Toraja adalah gagasan tentang duka cita kematian. Pentingnya upacara kematian di Toraja telah membuat bahasa mereka dapat mengekspresikan perasaan duka cita dan proses berkabung dalam beberapa tingkatan yang rumit.[23] Bahasa Toraja mempunyai banyak istilah untuk menunjukkan kesedihan, kerinduan, depresi, dan tekanan mental. Merupakan suatu katarsis bagi orang Toraja apabila dapat secara jelas menunjukkan pengaruh dari peristiwa kehilangan seseorang; hal tersebut kadang-kadang juga ditujukan untuk mengurangi penderitaan karena duka cita itu sendiri.

[sunting] Ekonomi

Sebelum masa Orde Baru, ekonomi Toraja bergantung pada pertanian dengan adanya terasering di lereng-lereng gunung dan bahan makanan pendukungnya adalah singkong dan jagung. Banyak waktu dan tenaga dihabiskan suku Toraja untuk berternak kerbau, babi, dan ayam yang dibutuhkan terutama untuk upacara pengorbanan dan sebagai makanan.[11] Satu-satunya industri pertanian di Toraja adalah pabrik kopi Jepang, Kopi Toraja.
Dengan dimulainya Orde Baru pada tahun 1965, ekonomi Indonesia mulai berkembang dan membuka diri pada investasi asing. Banyak perusahaan minyak dan pertambangan Multinasional membuka usaha baru di Indonesia. Masyarakat Toraja, khususnya generasi muda, banyak yang berpindah untuk bekerja di perusahaan asing. Mereka pergi ke Kalimantan untuk kayu dan minyak, ke Papua untuk menambang, dan ke kota-kota di Sulawesi dan Jawa. Perpindahan ini terjadi sampai tahun 1985.[2]
Ekonomi Toraja secara bertahap beralih menjadi pariwisata berawal pada tahun 1984. Antara tahun 1984 dan 1997, masyarakat Toraja memperoleh pendapatan dengan bekerja di hotel, menjadi pemandu wisata, atau menjual cinderamata. Timbulnya ketidakstabilan politik dan ekonomi Indonesia pada akhir 1990-an (termasuk berbagai konflik agama di Sulawesi) telah menyebabkan pariwisata Toraja menurun secara drastis.

[sunting] Komersialisasi

Makam suku Toraja di tebing tinggi berbatu adalah salah satu tempat wisata di Tana Toraja.
Sebelum tahun 1970-an, Toraja hampir tidak dikenal oleh wisatawan barat. Pada tahun 1971, sekitar 50 orang Eropa mengunjungi Tana Toraja. Pada 1972, sedikitnya 400 orang turis menghadiri upacara pemakaman Puang dari Sangalla, bangsawan tertinggi di Tana Toraja dan bangsawan Toraja terakhir yang berdarah murni. Peristiwa tersebut didokumentasikan oleh National Geographic dan disiarkan di beberapa negara Eropa.[2] Pada 1976, sekitar 12,000 wisatawan mengunjungi Toraja dan pada 1981, seni patung Toraja dipamerkan di banyak museum di Amerika Utara.[31] "Tanah raja-raja surgawi di Toraja", seperti yang tertulis di brosur pameran, telah menarik minat dunia luar..
Pada tahun 1984, Kementerian Pariwisata Indonesia menyatakan Kabupaten Toraja sebagai primadona Sulawesi Selatan. Tana Toraja dipromosikan sebagai "perhentian kedua setelah Bali".[5] Pariwisata menjadi sangat meningkat: menjelang tahun 1985, terdapat 150.000 wisatawan asing yang mengunjungi Tana Toraja (selain 80.000 turis domestik),[4] dan jumlah pengunjung asing tahunan tercatat sebanyak 40.000 orang pada tahun 1989.[2] Suvenir dijual di Rantepao, pusat kebudayaan Toraja, banyak hotel dan restoran wisata yang dibuka, selain itu dibuat sebuah lapangan udara baru pada tahun 1981.[15]
Para pengembang pariwisata menjadikan Toraja sebagai daerah petualangan yang eksotis, memiliki kekayaan budaya dan terpencil. Wisatawan Barat dianjurkan untuk mengunjungi desa zaman batu dan pemakaman purbakala. Toraja adalah tempat bagi wisatawan yang telah mengunjungi Bali dan ingin melihat pulau-pulau lain yang liar dan "belum tersentuh".[2] Tetapi suku Toraja merasa bahwa tongkonan dan berbagai ritual Toraja lainnya telah dijadikan sarana mengeruk keuntungan, dan mengeluh bahwa hal tersebut terlalu dikomersilkan. Hal ini berakibat pada beberapa bentrokan antara masyarakat Toraja dan pengembang pariwisata, yang dianggap sebagai orang luar oleh suku Toraja.[4]
Bentrokan antara para pemimpin lokal Toraja dan pemerintah Provinsi Sulawesi Selatan (sebagai pengembang wisata) terjadi pada tahun 1985. Pemerintah menjadikan 18 desa Toraja dan tempat pemakaman tradisional sebagai "objek wisata". Akibatnya, beberapa pembatasan diterapkan pada daerah-daerah tersebut, misalnya orang Toraja dilarang mengubah tongkonan dan tempat pemakaman mereka. Hal tersebut ditentang oleh beberapa pemuka masyarakat Toraja, karena mereka merasa bahwa ritual dan tradisi mereka telah ditentukan oleh pihak luar. Akibatnya, pada tahun 1987 desa Kete Kesu dan beberapa desa lainnya yang ditunjuk sebagai "objek wisata" menutup pintu mereka dari wisatawan. Namun penutupan ini hanya berlangsung beberapa hari saja karena penduduk desa merasa sulit bertahan hidup tanpa pendapatan dari penjualan suvenir.[4]
Pariwisata juga turut mengubah masyarakat Toraja. Dahulu terdapat sebuah ritual yang memungkinkan rakyat biasa untuk menikahi bangsawan (Puang), dan dengan demikian anak mereka akan mendapatkan gelar bangsawan. Namun, citra masyarakat Toraja yang diciptakan untuk para wisatawan telah mengikis hirarki tradisionalnya yang ketat,[5] sehingga status kehormatan tidak lagi dipandang seperti sebelumnya. Banyak laki-laki biasa dapat saja menyatakan diri dan anak-anak mereka sebagai bangsawan, dengan cara memperoleh kekayaan yang cukup lalu menikahi perempuan bangsawan.